Kamis, 19 Oktober 2017

Samba dan Dewi Hagyanawati

Samba dan Dewi Hagyanawati

Samba dan Dewi Hagyanawati


Perselingkuhan Samba dan Dewi Hagyanawati
Dalang: Ki Sawali Tuhusetya

Usai menghadiri pesta pernikahan Prabu Boma Narakasura dengan Dewi Hagyanawati di istana Trajutrisna yang megah, hati Raden Samba kebat-kebit tak keruan, dirajam kegelisahan. Wayang berwajah flamboyan itu sudah berupaya melupakan wajah Dewi Hagyanawati yang terus menari-nari dalam bentangan layar memorinya. Namun, semakin dilupakan, wajah titisan Dewi Dermi itu makin keranjingan memburu dirinya. Sejak saat itu, Samba seperti berada di “dunia lain” yang terus melakukan pengembaraan batin bersama Dewi Hagyanawati.

Pihak security terpaksa harus aplusan menjaga kamar Samba karena dikhawatirkan akan kabur dari istana. Para penasihat spiritual harus suntuk berdiskusi untuk menemukan solusinya. Bos-bos paranormal dan para praktisi metafisika dari berbagai penjuru yang sangat fasih bicara soal “dunia gaib” pun diundang ke istana. Namun, Raden Samba tetap saja berperilaku aneh dan selalu menyebut-nyebut Hagyanawati.

Kejadian aneh itu tampaknya mengusik Batara Guru untuk turun tangan. Penguasa kahyangan yang mengklaim diri sebagai penjaga ketenteraman dan kedamaian hidup para kawula bumi itu seolah-olah merasa ikut bertanggung jawab terhadap kemelut yang mendera para pengagum cinta, apalagi melibatkan Hagyanawati yang dianggap sebagai titisan Dewi Dermi, kerabat dekat Jonggring Saloka. Sangat beralasan jika “dewa” yang punya hobi berselingkuh itu bersikukuh untuk menyambung tali cinta antara Samba dan Hagyanawati.

“Kasihan dia! Apa pun yang terjadi, Samba harus dipertemukan dengan Hagyanawati di Trajutrisna!” ujar Batara Guru dalam briefing kilat di paseban Jonggring Saloka yang juga dihadiri oleh para petinggi kahyangan. “Untuk itu, Ingsun titahkan pada Batari Wilutama untuk mempertemukan dua makhluk yang tengah kasmaran itu, bagaimanapun caranya. Ada pertanyaan?” lanjutnya sembari melirik wajah Batari Wilutama.

Entah, bagaimana caranya, Batari Wilutama sudah berada di kamar Samba, padahal di luar sana para prajurit mengawal ketat seluruh isi istana. Samba tersentak.

“Ingsun ingin mengajakmu menemui kekasihmu itu!”

“Benarkah? Tapi, bagaimana caranya?”

“Itu soal gampang! Yang penting, kamu sanggup apa tidak memenuhi syarat yang Ingsun ajukan?”

“Apa pun syaratnya, saya pasti sanggup!”

“Ok! Untuk ke Trajutrisna nanti, kamu akan Ingsun bawa lewat terowongan bawah tanah yang gelap supaya lebih aman. Syaratnya, kamu tidak boleh menoleh ke belakang, apa pun yang terjadi! Jika kamu langgar, Ingsun tak mau bertanggung jawab terhadap risiko yang akan kamu hadapi! Apakah kamu sanggup?”

“Kenapa tidak kalau hanya syarat semacam itu?”

“Ok, sekarang pejamkan matamu!”

Samba menuruti keinginan Batari Wilutama. Dalam sekejap, dia sudah berada di sebuah terowongan bawah tanah yang gelap dan sumpek. Setelah menempuh separo perjalanan, tiba-tiba dari arah belakang muncul cahaya terang benderang yang menyilaukan seisi terowongan. Karena penasaran, tanpa sadar, Samba balik kanan. Dia tertegun bukan main ketika menatap sebuah pemandangan yang menakjubkan. Cahaya itu ternyata bersumber dari vagina Dewi Wilutama. Samba makin terpesona saat menyaksikan sosok tubuh perempuan yang molek, mulus, dan sempurna tanpa cacat dalam keadaan telanjang bulat. Seumur-umur, baru ini kali dia menyaksikan panorama surgawi yang mengagumkan semacam itu. Lupalah dia pada persyaratan yang telah disanggupinya.

Alhasil, terowongan itu mendadak kembali gelap gulita. Samba baru sadar kalau dia telah berbuat kesalahan. Dalam keadaan tertatih-tatih, dia terus berjalan menyusuri terowongan yang licin, sumpek, dan berbau. Sesekali, kakinya tersandung batu, tubuhnya terguling-guling.

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya Samba tiba juga di kamar Dewi Hagyanawati yang sejuk dan harum. Samba seperti terbebas dari sekapan neraka. Dewi Hagyanawati tersentak. Berulang-ulang, dia mengucak-ucak bola matanya.

“Benarkah ini Kanda Samba, pemuda yang selalu aku impikan siang dan malam?”

“Tidak salah, Dinda! Aku benar-benar Samba, pemuda yang tidak rela melihatmu hidup berumah tangga dengan Prabu Boma Narakasura yang rakus dan serakah!” jawab Samba sambil memeluk Dewi Hagyanawati dengan kemesraan yang sempurna.

Kejadian yang berlangsung di kamar Dewi Hagyanawati itu akhirnya tercium juga oleh para prajurit Trajutrisna. Mereka segera melaporkan peristiwa itu kepada junjungannya. Prabu Boma Narakasora geram dan gusar. Dia tak akan merasa tenang jika belum berhasil menangkap lelaki pecundang yang dianggap telah menurunkan citra dan martabat negeri itu. Dalam keadaan emosional, Prabu Boma Narakasora segera memerintahkan kedua patihnya, Pancadnyana dan Suparwata, untuk menangkap “hidup atau mati” lelaki yang telah lancang ngrusak pager ayu kebahagiaan hidup seorang raja.

Tanpa mengalami banyak hambatan, Samba berhasil diringkus. Dalam keadaan setengah telanjang, Samba segera digiring dengan tubuh terikat menuju alun-alun di jantung kota. Penduduk Trajutrisna beramai-ramai mengerubunginya. Tanpa komando, mereka melempari Samba yang sudah tak berdaya dengan batu dan telor busuk. Setelah melapor kepada Prabu Boma, Patih Pancadnyana dan Suparwata diperintahkan uyntuk menghabisi Samba.

Mungkin begitulah takdir yang harus dijalani Samba, ksatria Paranggaruda yang juga sering dipanggil dengan sebutan Raden Gunadewa itu. Setelah mereguk kenikmatan surgawi bersama Dewi Hagyanawati, dia harus mengalami nasib tragis. Tubuhnya dicincang dan dijuwing-juwing oleh para prajurit Trajutrisna. Tanpa ampun lagi, Samba tewas mengenaskan setelah berbagai macam senjata menari-nari di atas tubuhnya.

Sementara itu, para prajurit Paranggaruda kalang kabut setelah mengetahui Raden Samba “raib” dari kamarnya. Mereka segera melaporkan kejadian itu kepada Prabu Kresna di Dwarawati. Belum hilang keterkejutan yang bersemayam di dada Kresna, tiba-tiba terdengar kabar Raden Samba telah tewas di tangan para prajurit Trajutrisna. Tanpa berpikir panjang, penguasa Dwarawati yang juga dikenal sebagai futurolog alias “ahli terawangan” itu segera berkelebat menuju negeri Trajutrisna dengan dikawal para petinggi dan satu batalyon prajurit tangguh.

Berkat kesaktian Kembang Wijayakusuma, Samba yang telah tewas dengan tubuh tak keruan bentuk, berhasil dihidupkan kembali oleh sang ayah. Rasa dendam dan sakit hati membikin Prabu Kresna terpaksa membuat perhitungan tersendiri dengan Boma Narakasora yang dianggap telah melanggar hak asasi pewayangan.

Kresna segera menyiapkan panah Cakra Baskara yang kecepatannya melebihi kehebatan pesawat Sukhoi. Setelah berhasil mengejar Boma, Kresna segera membidikkan panah andalannya ke tubuh Prabu Boma. Tak ayal lagi, tubuh besar dan kuat itu pun limbung tak berdaya.

Namun aneh! Begitu jasat itu menyentuh bumi, Prabu Boma kembali segar bugar; tertawa-tawa, mengejek. Kejadian itu terus berlangsung berulang-ulang. Kresna tahu, Boma memiliki kekuatan aji Pancasonabumi yang “antikematian” jika jasatnya menyentuh tanah.

Kresna tak kehilangan akal. Dia segera memasang jaring maut untuk Boma Narakasora. Dengan siasat semacam itu, jasat Boma mustahil menyentuh tanah. “Skenario” pun berjalan mulus. Dengan kepiawaian dan kesaktian yang dimilikinya, Prabu Kresna berhasil membidik tubuh Boma. Jasatnya melesat cepat menuju jaring maut yang telah dipasangnya. Tamatlah riwayat hidup Prabu Boma Narakasora. Obsesi Raden Samba untuk hidup berdampingan dengan Dewi Hagyanawati, pujaan hatinya, pun tercapai.

Namun, kemenangan Prabu Kresna justru menimbulkan masalah di negerinya sendiri. Para pengamat politik dan kalangan wakil rakyat menilai, tindakan semacam itu sangat tidak populer dalam kapasitasnya sebagai negarawan. Pertama, melestarikan dendam yang sangat tidak kondusif dalam mewujudkan perdamaian dunia pewayangan. Kedua, me-legal-kan perselingkuhan yang nyata-nyata telah menghancurkan kebahagiaan hidup berumah tangga. Meski demikian, Kresna tetap cuek. Dia yakin, kritik dan kecaman semacam itu akan hilang dengan sendirinya di tengah silang-sengkarutnya persoalan multidimensi yang tak kunjung usai di negerinya. Apalagi, wakil rakyat juga belum mampu berkelit dan membebaskan diri dari iming-iming dhuwit dan kemewahan. Dus, untuk membungkam kritik dan kecaman semacam itu bukan hal yang sulit bagi Kresna. *Halah* (***)

http://sawali.info/2008/02/13/perselingkuhan-samba-dan-dewi-hagyanawati/





Dewi Wilutama




Dewi Wilutama

Dewi Wilutama adalah salah seorang dari tujuh bidadari upacara Suralaya yang terdiri dari ; Dewi Supraba, Dewi Lenglengdanu, Dewi Gagarmayang, Dewi Tunjungbiru, Dewi Irimirin dan Dewi Warsiki. Karena kecerdasannya oleh Sanghyang Manikmaya, Dewi Wilutama ditetapkan sebagai kepala dari ketujuh bidadari upacara Suralaya tersebut.  

Dewi Wilutama pernah turun ke Arcapada melaksanakan perintah Sanghyang Manikmaya untuk mempertemukan titisan Bathara Derma dengan Bathari Dermi. Waktu itu Bathara Derma menitis pada Raden Samba, Putra Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati. Sedangkan Bathari Dermi, menitis pada Dewi Hagnyanawati, putri Prabu Narakasura raja negara Surateleng, yang telah menjadi istri Prabu Bomanarakusra, raja negara Prajatisa/Surateleng. 

Menurut cerita pedalangan, Dewi Wilutama pernah turun ke Arcapada menjelma menjadi kuda sembrani betina dan membawa terbang Bambang Kumbayana/Resi Drona menyeberangi lautan yang waktu itu sedang mencari Arya Sucitra. Dalam peristiwa itu terjalin hubungan asmara antara Dewi Wilutama dengan Bambang Kumbayana. Akibatnya Dewi Wilutama hamil, dan melahirkan seorang putra lelaki yang mempunyai ciri-ciri berambut dan bertelapak kaki kuda, yang diberi nama Bambang Aswatama.







Drona dan Wilutama

Drona, Bathara Guru dan Dewi Wilutama

Bhagawan Drona dan Dewi Wilutama


Bhagawan Wraspati mempunyai putra bernama Baradwaja yang pernah memerintah di Negeri Antasangin. Tatkala memasuki masa wanaprastha, ia melaksanakan tapa sebagai Brahmana Pandita di tengah hutan, berita ini terdengar oleh sahabatnya, Raja Pancala. Ia begitu terharu, karena ia tahu, sahabatnya masih mempunyai putra yang masih bocah bernama Kanwa dan Kumbayana.

Akhirnya, ia putuskan untuk menitipkan putra mahkotanya, Sucitra, yang juga masih usia kanak-kanak padanya. Untuk diberikan pendidikan ilmu kawisesan. Sucitra, sangat senang berguru pada Rsi Baradwaja. Di mata Sucitra, Baradwaja adalah sosok ayah yang penuh perhatian. Begitu pula Kanwa dan Kumbayana sahabat kecilnya, selalu mengalah dan memanjakannya. Terlebih-lebih Kumbayana, ia merasakan adanya rasa melebihi sosok saudara. Sucitra mewarisi ilmu kepemimpinan dari Baradwaja. Sedangkan Kumbayana yang rajin berlatih kanuragan, mewarisi ilmu memanah dari orangtuanya. Sekian tahun, mereka bersama. Akhirnya, tiba saatnya mereka berpisah. Raja Pancala menjemput putranya.

Kedua remaja itu berpelukan. Tak tahan, airmata mereka menetes, meliuk membuat sungai kecil di pipi. Mengharukan sekali. Sucitra kemudian membuat usulan. Kumbayana membisu. Ia tak bisa menolak ajakan Sucitra.

“Baiklah, ku tak bisa memaksa, kelak ketika dewasa datanglah ke istanaku, kita kendalikan bersama kerajaan Pancala. Aku janji, demi Dewata, ku takakan menyia-nyiakan kamu….datanglah ke istanaku.”

“Baiklah, Sucitra. Aku percaya padamu. Aku janji, suatu hari nanti kuakan mencarimu.”

Hidup semakin redup sejak Sucitra pergi. Keceriaan Kumbayana berubah, ia tak lagi senang bermain kesana-kemari. Ia lebih senang diam di pertapaan, membaca sastra menemani Rsi Baradwaja. Seiring waktu bertambah sekian jilid buku dilahapnya. Vedanta yang paling sulitpun dipelajarinya. Akhirnya, di masa dewasa ia tumbuh menjadi pemuda cerdas. Selain sakti mantraguna, ia sangat tahan uji, dan menjungjung tinggi nilai-nilai satyawacana (setia pada janji). Ia sangat membenci pada moral orang yang senang ingkar pada janji. Karena, "ingkar pada janji akan menyebabkan kepribadian orang terpuruk pada lembah yang paling nista". Keyakinan itu, membawa Kumbayana pada keinginan yang menggebu-gebu untuk menemui sahabatnya Sucitra.

Rsi Baradwaja, yang mengetahui keinginan putranya, rela hati melepaskannya. Apalagi secara nyata, Kumbayana mampu menunjukkan kemampuan menguasai ilmu filsafat Vedanta dan strategi perang yang tertinggi.

“Pergilah, Nanda. Temui sahabatmu Sucitra, ku restui perjalananmu. Kini namamu "Drona", yang berarti engkau telah lulus dalam upaya mencapai kepribadian tertinggi.”

Pagi cerah, mentari melumuri pepohonan dengan sinarnya yang sejuk. Perjalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya ia harus tertambat pada laut yang luas. Ia berdiri dibatu karang. Ombak menghantam garang. Drona kecewa. Supaya mencapai Pancala. Ia sedapat mungkin, harus mampu berenang melintasi luasnya samudra. Ia menggeleng, pasrah. Pupus harapan bertemu sahabat lama. Dalam hati ia merutuki nasibnya. Berhari-hari ia tak makan, merenung melaksanakan darana, dyana, semadhi. Mulutnya kering, hanya air laut yang dikirim buih lidah ombak melumuri celah bibirnya. Ia bertekad, kalau tak mampu mencari solusi, biar saja, ia terkubur bersama keinginannya yang menggebu. Akhirnya di puncak ketiadaberdayaan, ia pun bersumpah.

“Kalau saja ada yang mampu menyebrangkan diriku, andaikan lelaki akan kujadikan saudara tertua dan menghormatinya seumur hidup. Jika wanita kuperistri….” Sumpahnya.

Sumpah Drona didengar Hyang Guru di Swarga Loka. Beliau, lantas mengutus seorang bidadari bernama Dewi Wilutama. Turun ke dunia untuk menggoda Drona. Dewi Wilutama menyamar menjadi seekor kuda betina. 

Saat Drona sedang berusaha menekan keinginan bertemu dengan Sucitra, seekor kuda betina menghampirinya. Uniknya, kuda itu tidak seliar kuda lainnya. Ia datang, lalu mengendus dan menjilati punggung Drona. Saat mata sang kuda bertemu mata Drona. Terjadilah keajaiban, dalam pikiran Drona terangkai kata-kata yang indah. Dan ia terpesona.

“Siapakah yang merangkai kata-kata ini?”
“Aku? “

Drona celingukan mencari-cari orang yang berkata dalam pikirannya.
“Tataplah mata kuda dihadapanmu. Dan, mohonlah sesuatu.”

“Tak mungkin, aku mengulang suatu permintaan. Pernah kunyatakan, siapaun yang mampu menyebrangkan aku je Negeri Pancala maka kalau ia lelaki akan kuangkat saudara, kalau perempuan kujadikan istri.”

“Ya, aku mampu menyebrangkan dirimu menuju Pancala. Naiklah ke punggungku.”

Drona yang putus asa, akhirnya menunggang punggung kuda betina. Dan, ajaib, kuda itu melesat tanpa rasa takut menyebrangi laut yang luas. Lawaknya, ia mengendarai kuda di darat. Sehari, semalam. Kuda berenang. Sampai akhirnya mereka menemukan daratan. Awalnya, mata Drona menangkap puncak-puncak karang bermunculan pertanda daratan tak jauh lagi. Saat kaki mereka menginjak pasir. Drona nampak murung, ia teringat kata-katanya. Terbayang sumpahnya. Ia harus menepati semua janji-janjinya. Itulah, naursot (penebus janji) yang harus dilaksanakan. Ia harus mengawini kuda betina itu, untuk menebus janji-janjinya. Karena, kuda itulah yang mampu menyebrangkan dirinya. Di tengah hati yang membuncah, galau. Drona hanya bisa diam merenung. Sementara, ia tak melanjutkan perjalanan. Ia hanya duduk menghabiskan hari di pantai itu, menjawab pertanyaan yang memenuhi ruang logikanya.

“Akankan aku harus mempersunting kuda ? Gila, adakah moral dimataku ! Aku bernama Drona, Vedanta tertinggi telah kuraih !! Alhasil. Semua pertanyaan sulit mampu kujawab. Siapapun ahli Vedanta di pelosok negeri akan menyerah padaku…."

"Kenyataannya ku harus mempersunting kuda. Mengawini layaknya anak manusia. Ah! Lalu aku harus bagaimana? Andaikata seorang yang diinisiasi menguasai Weda tidak satyawacana. Tidak menepati janjinya? Kematian yang pantas dipersembahkan padanya ? Atau ia harus dipermalukan seumur hidupnya."

Pertanyaan-pertanyaan Drona mengalir bagaikan air bah menghantam sendi-sendi kepasrahannya. Ia harus segera memutuskan, mana yang harus dipilih. Menghindar? atau menebus janjinya (naursot). Akhirnya, ia memilih mengawini kuda betina itu. Langit pun terasa aneh, menyaksikan pernikahan unik yang tak lazim. Berbulan-bulan mereka menghabiskan hari di pantai Pancala. Kuda betina itu hamil. Semakin hari, semakin nampak buntingnya. Drona semakin stress. Saat ia berjalan, tanpa sengaja seorang nelayan memergokinya. Rupanya, dari dulu, ia sudah diamati. Hanya tak berani menegur. Karena dianggapnya Drona manusia gila. Bagaimana tidak? Seorang manusia bermesraan dengan seekor kuda. Manakala Drona sendirian, baru nelayan itu berani menyapa. Diajaknya Drona ke pondoknya, diberinya makan serta pakaian layak. Drona tersentuh dan tiada sengaja ia curahkan seluruh isi hatinya. Mengenai perjalanannya menuju Pancala, sampai akhirnya harus menikahi seekor kuda betina. Nelayan itu, manggut-manggut. Ia tak mampu meringankan beban penderitaan Drona. Ia hanya bisa prihatin. Dari sinilah, cerita ini berawal. Penderitaan Drona, sampai ke telinga Patih Gandamana, lalu ke telinga Sucitra, yang kini bernama Drupada.

“Beristri kuda?”

“Ya, Tuan……”

“Dimana moral manusia seperti itu? Perbuatan salah timpal hukumannya berat. Perbuatan asusila yang mencemari desa. Harus diadakan ruwat dengan upacara kurban kalau masyarakat nelayan itu mau selamat“ kata Drupada, penuh kemuakan.

Suatu hari, Drona sangat panik. Tiba-tiba saja, kuda betina itu rebah. Mengerang, menahan sakit. Rupanya hendak melahirkan. Tiada lama, terdengarlah suara menyayat hati. Tangisan seorang bayi. Drona memungut lalu memangku orok yang terdampar di tumpukan ilalang. Dirangkulnya Drona, bayi itu menangis sejadi-jadinya. Drona hanya bisa bingung.


=======================

Bhagawan Wraspati mempunyai putra bernama Baradwaja yang pernah memerintah di Negeri Antasangin. Tatkala memasuki masa wanaprastha ia melaksanakan tapa sebagai Brahmana Pandita di tengah hutan, berita ini terdengar oleh sahabatnya, Raja Pancala. Ia begitu terharu, karena ia tahu, sahabatnya masih mempunyai putra yang masih bocah bernama Kanwa dan Kumbayana.

Akhirnya, ia putuskan untuk menitipkan putra mahkotanya, Sucitra, yang juga masih usia kanak-kanak padanya. Untuk diberikan pendidikan ilmu kawisesan. Sucitra, sangat senang berguru pada Rsi Baradwaja. Di mata Sucitra, Baradwaja adalah sosok ayah yang penuh perhatian. Begitu pula Kanwa dan Kumbayana sahabat kecilnya, selalu mengalah dan memanjakannya. Terlebih-lebih Kumbayana, ia merasakan adanya rasa melebihi sosok saudara.

Sucitra mewarisi ilmu kepemimpinan dari Baradwaja. Sedangkan Kumbayana yang rajin berlatih kanuragan mewarisi ilmu memanah dari orangtuanya. Sekian tahun, mereka bersama. Akhirnya, tiba saatnya mereka berpisah. Raja Pancala menjemput putranya.

Kedua remaja itu berpelukan. Tak tahan, airmata mereka menetes, meliuk membuat sungai kecil di pipi. Mengharukan sekali. Sucitra kemudian membuat usulan. Kumbayana membisu. Ia tak bisa menolak ajakan Sucitra.

“Baiklah, ku takbisa memaksa, kelak ketika dewasa datanglah ke istanaku, kita kendalikan bersama kerajaan Pancala. Aku janji, demi Dewata, ku takakan menyia-nyiakan kamu….datanglah ke istanaku.”

“Baiklah, Sucitra. Aku percaya padamu. Aku janji, suatu hari nanti kuakan mencarimu.”

Hidup semakin redup sejak Sucitra pergi. Keceriaan Kumbayana berubah, ia tak lagi senang bermain kesana-kemari. Ia lebih senang diam di pertapaan, membaca sastra menemani Rsi Baradwaja.

Seiring waktu bertambah sekian jilid buku dilahapnya. Vedanta yang paling sulitpun dipelajarinya. Akhirnya, di masa dewasa ia tumbuh menjadi pemuda cerdas. Selain sakti mandraguna, ia sangat tahan uji, dan menjungjung tinggi nilai-nilai satyawacana (setia pada janji). Ia sangat membenci pada moral orang yang senang ingkar pada janji. Karena, ingkar pada janji akan menyebabkan kepribadian orang terpuruk pada lembah yang paling nista. Keyakinan itu, membawa Kumbayana pada keinginan yang menggebu-gebu utnuk menemui sahabatnya Sucitra.

Resi Baradwaja, yang mengetahui keinginan putranya, rela hati melepaskannya. Apalagi secara nyata, Kumbayana mampu menunjukkan kemampuan menguasai ilmu filsafat Vedanta dan strategi perang yang tertinggi. “Pergilah, Nanda. Temui sahabatmu Sucitra, kurestui perjalananmu. Kini namamu Drona, yang berarti engkau telah lulus dalam upaya mencapai kepribadian tertinggi.”
Pagi cerah, mentari melumuri pepohonan dengan sinarnya yang sejuk. Perjalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya ia harus tertambat pada laut yang luas. Ia berdiri dibatu karang. Ombak menghantam garang. Drona kecewa. Supaya mencapai Pancala. Ia sedapat mungkin, harus mampu berenang melintasi luasnya samudra.

Ia menggeleng, pasrah. Pupus harapan bertemu sahabat lama. Dalam hati ia merutuki nasibnya. Berhari-hari ia tak makan, merenung melaksanakan darana, dyana, semadhi. Mulutnya kering, hanya air laut yang dikirim buih lidah ombak melumuri celah bibirnya. Ia bertekad, kalau tak mampu mencari solusi, biar saja, ia terkubur bersama keinginannya yang menggebu. Akhirnya di puncak ketiadaberdayaan, ia pun bersumpah.

“kalau saja ada yang mampu menyebrangkan diriku, andaikan lelaki akan kujadikan saudara tertua dan menghormatinya seumur hidup. Jika wanita kuperistri….” Sumpahnya.

Sumpah Drona didengar Hyang Guru di Swarga Loka. Beliau, lantas mengutus seorang bidadari bernama Dewi Wilutama. Turun ke dunia untuk menggoda Drona. Dewi Wilutama menyamar menjadi seekor kuda betina.

Saat Drona sedang berusaha menekan keinginan bertemu dengan Sucitra, seekor kuda betina menghampirinya. Uniknya, kuda itu tidak seliar kuda lainnya. Ia datang, lalu mengendus dan menjilati punggung Drona. Saat mata sang kuda bertemu mata Drona. Terjadilah keajaiban, dalam pikiran Drona terangkai kata-kata yang indah. Dan ia terpesona. “Siapakah yang merangkai kata-kata ini ?”

“Aku ? “

Drona celingukan mencari-cari orang yang berkata dalam pikirannya.

“Tataplah mata kuda dihadapanmu. Dan, mohonlah sesuatu.”

“Tak mungkin, aku mengulang suatu permintaan. Pernah kunyatakan, siapaun yang mampu menyebrangkan aku je Negeri Pancala maka kalau ia lelaki akan kuangkat saudara, kalau perempuan kujadikan istri.”

“Ya, aku mampu menyebrangkan dirimu menuju Pancala. Naiklah ke punggungku.”

Drona yang putus asa, akhirnya menunggang punggung kuda betina. Dan, ajaib, kuda itu melesat tanpa rasa takut menyebrangi laut yang luas. Lawaknya, ia mengendarai kuda di darat. Sehari, semalam. Kuda berenang. Sampai akhirnya mereka menemukan daratan.

Awalnya, mata Drona menangkap puncak-puncak karang bermunculan pertanda daratan tak jauh lagi. Saat kaki mereka menginjak pasir. Drona nampak murung, ia teringat kata-katanya. Terbayang sumpahnya. Ia harus menepati semua janji-janjinya. Itulah, naursot (penebus janji) yang harus dilaksanakan. Ia harus mengawini kuda betina itu, untuk menebus janji-janjinya. Karena, kuda itulah yang mampu menyebrangkan dirinya. Di tengah hati yang membuncah, galau. Drona hanya bisa diam merenung. Sementara, ia tak melanjutkan perjalanan.

Ia hanya duduk menghabiskan hari di pantai itu, menjawab pertanyaan yang memenuhi ruang logikanya. “Akankan aku harus mempersunting kuda ? Gila, adakah moral dimataku ! Aku bernama Drona, Vedanta tertinggi telah kuraih !! Alhasil. Semua pertanyaan sulit mampu kujawab. Siapapun ahli Vedanta di pelosok negeri akan menyerah padaku….

Kenyataannya kuharus mempersunting kuda. Mengawini layaknya anak manusia. Ah! Lalu aku harus bagaimana ? Andaikata seorang yang diinisiasi menguasai Weda tidak satyawacana. Tidak menepati janjinya ? Kematian yang pantas dipersembahkan padanya ? Atau ia harus dipermalukan seumur hidupnya.

Pertanyaan-pertanyaan Drona mengalir bagaikan air bah menghantam sendi-sendi kepasrahannya. Ia harus segera memutuskan, mana yang harus dipilih. Menghindar ? atau menebus janjinya (naursot). Akhirnya, ia memilih mengawini kuda betina itu. Langit pun terasa aneh, menyaksikan pernikahan unik yang tak lazim.

Berbulan-bulan mereka menghabiskan hari di pantai Pancala. Kuda betina itu hamil. Semakin hari, semakin nampak buntingnya. Drona semakin setress. Saat ia berjalan, tanpa sengaja seorang nelayan memergokinya. Rupanya, dari dulu, ia sudah diamati. Hanya tak berani menegur.

Karena dianggapnya Drona manusia gila. Bagaimana tidak ? Seorang manusia bermesraan dengan seekor kuda. Manakala Drona sendirian, baru nelayan itu berani menyapa. Diajaknya Drona ke pondoknya, diberinya makan serta pakaian layak. Drona tersentuh dan tiada sengaja ia curahkan seluruh isi hatinya. Mengenai perjalanannya menuju Pancala, sampai akhirnya harus menikahi seekor kuda betina. Nelayan itu, manggut-manggut. Ia tak mampu meringankan beban penderitaan Drona. Ia hanya bisa prihatin.

Dari sinilah, cerita ini berawal. Penderitaan Drona, sampai ke telinga Patih Gandamana, lalu ke telinga Sucitra, yang kini bernama Drupada.

“Beristri kuda ?”

“Ya, Tuan……”

“Dimana moral manusia seperti itu ? Perbuatan salahtimpal hukumannya berat. Perbuatan asusila yang mencemari desa. Harus diadakan ruwat dengan upacara kurban kalau masyarakat nelayan itu mau selamat, “ kata Drupada, penuh kemuakan.

Suatu hari, Drona sangat panik. Tiba-tiba saja, kuda betina itu rebah. Mengerang, menahan sakit. Rupanya hendak melahirkan. Tiada lama, terdengarlah suara menyayat hati. Tangisan seorang bayi. Drona memungut lalu memangku orok yang terdampar di tumpukan ilalang. Dirangkulnya Drona, bayi itu menangis sejadi-jadinya. Drona hanya bisa bingung. Setelah diperhatikan ternyata si jabang bay sangat mirip dengannya. Lantas, mulut bayi didekatkan pada tetek kuda yang sedang rebah. Bayi itu pun menyusu.

Semakin hari bertambah, bayi itu semakin montok dan sehat. Kemana-mana Drona pergi, kuda itu menyertai. Pada suatu hari, ia hendak menghadap ke istana Sucitra. Kendati dilarang, kuda itu justru membangkang mau ikut jua. Akhirnya, Drona putus asa. Ia mengambil anak panahnya.

Dan, membentangkan pada busurnya. Rencananya, sih menakut-nakuti, namun setan apa yang menyebabkan tangannya lalai, anak panah melesat. Prash..!! Tepat menembus jantung kuda betina. 

Saat sekarat, meregang nyawa, kuda itu lenyap. Dan, berubah menjadi sosok seorang Dewi yang cantik sekali.

“Wahai Drona, namaku Dewi Wilutama ,” katanya

“Aku seorang bidadari. Aku diutus Hyang Guru untuk menggodamu. Kini, pengabdianku telah berakhir. Aku akan kembali ke Swarga Loka. Namun, sebelum aku pergi. Kutitip anak kita padamu. Rawatlah anak kita, agar menjadi manusia berguna. Anak ini, tadinya belum punya nama. Maka, kuberi nama Aswatama.”

Setelah menyerahkan Aswatama, Dewi Wilutama kembali ke kahyangan. Hanya tinggal Drona dan Aswatama yang merana diguyur sunyi.


===================




Menakjingga

Menakjingga


Menak Jingga


Siapa Menak Jingga (baca: Menak Jinggo) itu? Menak Jingga adalah tokoh dalam mitos yang konon terjadi di jaman Majapahit. Perannya cukup luar biasa karena sempat nyaris menguasai Majapahit. Sayangnya tokoh ini tidak tertulis dalam sejarah Majapahit. Karena saya bukan pakar sejarah, maka memilih tetap menganggap Menak Jingga hanyalah tokoh dongeng saja.

Dongeng Menak Jingga tidak hanya sekedar bahan bacaan di sekolah ketika saya masih duduk di bangku SD. Melainkan juga tayangan paling favorit dalam berbagai pentas kethoprak di jaman itu. Biasanya judul lakonnya “Damar Wulan”. Saya sangat hapal karena dari kecil sering diajak nonton kethoprak (almarhumah) nenek saya tercinta. Untuk lakon-lakon lain, nenek nonton sekenanya. Tapi khusus lakon “Damar Wulan”, nenek sangat serius. Tidak ada hari absen untuk setiap episode.

Munculnya Jaka Umbaran


Berawal ketika Majapahit diperintah oleh rezim Bratunjung (baca: Brotunjung), raja sebelum deretan raja-raja Brawijaya (baca: Browijoyo). Ketika itu di kabupaten Grati (sekarang Banyuwangi) terjadi bencana. Bupati Bandar Sobali tewas dibunuh raja siluman bernama Kebo Marcuet. Lantas sang siluman kerbau itu terus membabi buta mengibarkan bendera kemerdekaan dari Majapahit dan mengancam akan mengkudeta Majapahit. Sang raja pun, Prabu Bratunjung, segera mengambil langkah-langkah pengamanan. Gengsi jika menaklukkan pasukan siluman saja harus mengerahkan pasukan Majapahit yang kondang sakti dan mumpuni. Maka lebih baik mencari pendekar sakti yang siap membinasakan pasukan siluman kurang ajar itu melalui perang tanding satu lawan satu. Selain bisa lolos dari liputan media, juga tidak banyak korban.

Akhirnya digelarlah sayembara mencari pendekar sakti dengan hadiah menjadi bupati Grati. Setelah sekian putaran, terpilihlah seorang pendekar muda yang gagah perkasa dari Padepokan Gambir Sakethi, siswa kinasihnya sang guru kondang, Ki Ajar Pamengger. Pendekar muda itu bernama Jaka Umbaran (baca: Joko Umbaran).

Terkesima dengan keperkasaan Jaka Umbaran, sang raja membisikkan kata-kata di kumping sang pandekar. Bisikan itulah yang merupakan awal dari sengketa yang nyaris tak berujung; “Jika kamu bisa menaklukkan siluman itu, bukan saja menjadi bupati Grati, kamu akan saya kawinkan dengan anakku”. Kenapa sengketa? Antara lain karena sang raja nggak nyadar bahwa ketika membisikkan janji tersebut, sang anak yang dijanjikan belum lahir.

Sekilas tentang Siluman Kebo Marcuet


Sebenarnya siluman Kebo Marcuet dulunya juga manusia biasa. Bahkan dia juga alumnus padepokan Gambir Sakethi, sesama siswanya Ki Ajar Pamengger. Marcuet tidak sehebat Jaka Umbaran dalam hal kependekarannya. Namun napsunya untuk menjadi orang top begitu menggebu nggak ngukur diri. Akhirnya dia memuja iblis di hutan sekitar Grati dan terkabul. Dia direkrut menjadi bangsa siluman.

Berdasarkan cerita rakyat di Jawa, siluman adalah manusia pemuja iblis yang sudah benar-benar mendapatkan sifat fisik iblis. Hidupnya di dua alam, alam nyata seperti kita dan alam palemunan yang tidak kasat mata. Ujudnya pun konon sudah berubah, meski masih bisa nampak seperti manusa biasa manakala memasuki alam kita. Orang-orang pemuja babi ngepet merupakan contoh siluman yang paling lazim. Ketika sedang beroperasi, dia berada di alam palemunan berujud babi hutan.

Kesaktian pujan yang dia dapat Marcuat berupa sepasang tanduk di kepala dengan bahan dasar “wesi kuning”, besi atau baja bertuah yang derajatnya dalam dunia persenjataan di jaman itu nomor wahid. Dasar orang rakus, sudah menjadi siluman pun belum cukup. Bermodalkan tanduk saktinya, dia datangi dan dia taklukkan siluman-siluman lain untuk mendukungnya. Akhirnya Marcuet menjadi gangster yang paling ganas di dunia siluman pemuja iblis. Aksi klimaksnya, dia bantai Bupati Grati dan dia duduki istana kabupaten serta mengibarkan bendera kemerdekaan menyatakan diri lepas dari Majapahit.

Membinasakan Raja Siluman Kebo Marcuet

Jaka Umbaran pun dengan semangat membara berangkat ke Grati. Bagaimana tidak semangat? Ibarat sebuah turnamen, ini adalah undangan Blood Sport Kumite atau Ultimate Fighting Championship (UFC). Sebuah kesempatan emas untuk membuktikan kependekarannya yang telah dia tekuni di Gambir Sakethi sejak usia dini. Lagi pula, apa yang akan diraihnya benar-benar sepadan. Jika menang kelak akan menjadi menantu raja. Tentu saja akan mengangkat derajatnya dan keluarganya yang sebenarnya hanya orang kampung. Akhirnya bertemulah Jaka Umbaran dengan pimpinan siluman Kebo Marcuet.


Rupanya, raja siluman kerbau yang konon amat ganas dan tak kenal kompromi itu tidak langsung menyerang. Tentu saja, siluman kerbau tidak sebodoh kerbau. Indra keenamnya menangkap aura Jaka Umbaran yang sedemikian tajam membuat nyalinya sedikit tersentak. Lantas dengan suara menggelegar mencoba menggertak Jaka Umbaran agar segera pergi. Jaka Umbaran sebenarnya juga sedikit kecut mendengar pengabaran sang siluman. Namun tekadnya untuk mendapat kemahsyuran telah bulat sehingga berhasil menutupi kegamangannya dengan meluncurkan serangan kejutan ke arah muka Kebo Marcuet. Pertempuran pun tek terelakkan. Namun ternyata bukan perang tanding satu lawan satu. Siluman tentu saja culas, nggak sejantan yang diperkirakan Prabu Brotunjung. Sang Siluman culas itu segera menjerit memekakkan telinga yang ternyata merupakan isyarat untuk memanggil pasukannya. Jaka Umbaran pun lantas dikeroyok habis-habisan oleh pasukan siluman yang kadang nampak kadang hilang.

Benar, Jaka Umbaran memang pendekar sakti yang luar biasa. Gempuran pasukan siluman bisa dia patahkan dan dia kembalikan ke dunia siluman. Tinggal gangster-nya, Kebo Marcuet. Rupanya sang gangster itu juga sakti mandraguna. Duel maut berlangsung puluhan hari namun tampak seimbang.

Namun karena Jaka Umbaran manusia, tentu ada rasa lapar dan lelah yang lama-lama menjadikannya loyo dan disitulah apesnya murid kinasih Ki Ajar Pamengger. Tanduk sang Kebo Marcuet yang berbahan wesi kuning itu secepat kilat menghujam wajah dan badan Jaka Umbaran yang mulai loyo. Jros… wajah Jaka Umbara robek brantakan. Jrosss… lagi .. dada dan perut Umbaran pun luka parah. Kulit di wajah dan badan Umbaran banyak yang mengelupas. Merasa mendapat kesempatan, kebo siluman pun terus menyerbu menghujamkan tanduknya bertubi-tubi ke sekujur tubuh Jaka Umbaran. Darah pun membanjiri medan tempur dan bukan lagi Jaka Umbaran yang tampak, melainkan manusia yang terluka parah dan sekujur tubuhnya berwarna merah karena mandi darahnya sendiri.

Rupanya hari itu bukan hanya Jaka Umbaran saja yang apes. Kebo Marcuet yang merasa sudah di atas angin itupun makin beringas mengoyak lawannya dengan penuh napsu. Jaka Umbaran dengan sisa tenaganya ternyata masih mampu menangkap kedua tanduk kebo siluman tersebut dengan kedua tangannya dan membetotnya hingga lepas dari kepala sang siluman. Kebo Marcuat pun ambruk tak berdaya dan akhirnya tewas sebagai kerbau tanpa tanduk. Jaka Umbaran pun pingsan kelelahan dan kesakitan yang luar biasa. Namun kedua tangannya tetap dengan kuat menggenggam kedua tanduk siluman tanpa ada yang mampu melepaskannya.

Menak Jingga dan Ki Lurah Dayun


Salah seorang lurah (tokoh masyarakat) setempat yang bernama Ki Lurah Dayun pun iba demi melihat pahlawan yang malang itu, lantas menggendongnya dan membawanya ke rumahnya. Dirawatlah sang Jaka Umbaran di rumah Dayun hingga sembuh semua lukanya. Tanpa nyadar, ternyata dua tanduk siluman yang digenggamnya telah berubah ujud, yang satu menjadi Gada Wesi Kuning dan yang lainnya menjadi Pedang Sokayana (baca: Sokoyono).

Setelah sembuh, Jaka Umbaran bukan lagi pemuda tampan yang gagah perkasa, melainkan mirip siluman hidup dengan wajah dan badan sekujur tubuh cacat menyeramkan dan berkulit merah. Maklum ketika itu belum ada operasi plastik, sehingga kulit yang mengelupas setelah sembuh berwarna merah muda atau merah jambu yang dalam bahasa Jawa disebut jingga. Dia pun malu mengaku sebagai Jaka Umbaran, mengira tidak bakalan dipercaya oleh keluarga dan kerabatnya, maka ketika ditanya Dayun, dia menyebut namanya Menak Jingga.

Setelah dirasa sudah cukup pulih tenaga dan pikirannya, Menak Jingga pun segera berkemas untuk menduduki pendopo Kabupaten Grati menjadi bupati disana sesuai dengan yang dijanjikan dalam sayembara. Bukannya pamitan dengan Dayun, melainkan Dayun sekeluarga ikut serta diboyong ke istana kabupaten dijadikan lurah istana sekaligus panakawan kinasih.

Meskipun cacat dan berujud seram, Menak Jingga hidup bahagia. Bagaimana tidak? Dia kini adalah seorang bupati yang terhormat dan dicintai rakyatnya karena keberhasilannya mengusir pasukan siluman yang kejam. Selain itu, dalam keseharian dia juga didampingi oleh dua wanita cantik yang menjadi istrinya, yaitu Wahita (baca: Wahito) dan Puyengan. Grati pun menjadi kabupaten yang makmur dan sejahtera. Namun untuk mengenang kisah pertempurannya dengan pasukan siluman hingga banjir darah, maka nama Grati dia rubah menjadi Blambangan, yang artinya kubangan merah (darah).

Nagih Janji Majapahit


Bertahun-tahun sejak menjadi Bupati Blambangan, Menak Jingga tidak pernah menghadiri pasowanan agung di istana Majapahit. Sebenarnya bukan berniat “mbalela” (baca: mbalelo) ingin merdeka. Bisa dimaklumi, dia menjadi bupati tidak ditraining terlebih dulu. Di jaman itu bupati juga berbasis keturunan seperti raja. Putera mahkota bupati umumnya dipersiapkan dulu sebelum duduk di dampar kabupaten. Sehingga begitu jadi bupati, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan, termasuk menghadiri pasowanan agung di istana kerajaan sekali semusim sambil membawa upeti.

Menak Jingga tidak pernah melakukan itu dan juga tidak pernah ada yang menegurnya. Maklum, ketika itu Blambangan dianggap sangat jauh. Jangankan dari pusat Majapahit yang berada di sekitar Surabaya sekarang. Dari Probolinggo, tetangga kabupaten terdekat Blambangan, juga jauh banget jika ditempuh dengan kuda atau kereta kuda. Namun akhirnya raja mengutus bupati Probolinggo untuk mengingatkan Menak Jingga agar menghadiri pasowanan agung sekali semusim. Menak Jingga pun tidak keberatan karena tidak ada pikiran lain selain karena tidak tahu.

Begitu musim panen usai, waktunya pasowanan agung, Menak Jingga pun bergegas ke pusat Majapahit diiringi sejumlah pasukannya sambil membawa upeti puluhan gerobak. Dayun tidak pernah ketinggalan, selalu diajak kemana Menak Jingga pergi. Sesampainya di Majapahit, kontingen Blambangan disambut meriah. Maklum semula sudah dicurigai mau membrontak, ternyata tidak. Lagipula jika memberontak, Menak Jingga tidak bisa dianggap enteng. Marcuet saja takluk.

Di sela-sela kemeriahan, ternyata banyak pejabat keraton maupun bupati lain yang kaget melihat ujud Menak Jingga, karena sudah berbeda jauh dari Jaka Umbaran yang mereka lihat dulu 20 tahun lalu. Yang ini lebih mirip siluman berwajah seram. Bahkan ada yang setengah curiga, jangan-jangan ini masih Kebo Marcuet, hanya ganti nama. Menak Jingga dan Dayun pun dengan sabar mencoba menjelaskan sebisanya.

Konon setelah semua bupati, manggala dan wedana kumpul di bangsal Sitinggil Binaturata (baca: sitinggil binaturoto) keraton Majapahit, hadirlah yang ditunggu-tunggu, sang Ratugung Binathara (baca: Ratugung Binathoro), raja Majapahit. Alangkah kagetnya Menak Jingga begitu melihat siapa yang disebut Ratugung Bhinathara. Ternyata bukan lagi Prabu Bratunjung, melainkan seorang wanita remaja yang cantiknya bak bidhadhari dari langit. Dialah Prabu Sri Subasiti Kencana Wungu (baca: Sri Subositi Kencono Wungu), anak sulung sekaligus pengganti Prabu Bratunjung yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Dalam bahasa Jawa, sri artinya keagungan. Subasiti artinya tatanan moral atau kesusilaan, sama juga subasita. Kencana artinya emas, wungu artinya bangun atau bangkit. Sehingga Sri Subasiti Kencana Wungu mungkin diartikan keagungan tatanan atau kesusilaan untuk membangkitkan jaman keemasan.

Melihat kecantikan Prabu Kencana Wungu, bolak-balik Menak Jingga menelan ludah. Hasratnya muncul menggebu. Terlebih setelah teringat bahwa dulu pernah dijanjikan oleh Prabu Bratunjung akan dinikahkan dengan putrinya. Namanya juga manusia, bisikan napsu untuk mendapatkan yang lebih baik tentu ada. Apalagi sesuatu itu diyakini merupakan hak dan ternyata secantik itu.

Belum lagi palu diketuk untuk membuka acara pasowanan agung, rupanya Menak Jingga sudah tidak mampu membendung hasratnya. Tiba-tiba dia berdiri dan dengan lantang mengatakan bahwa dia datang selain memenuhi kewajiban sebagai bupati, juga akan mempersunting Prabu Kencana Wungu yang dulu pernah dijanjikan oleh Prabu Bratunjung. Menak Jingga meminta agar raja dan kerajaan segera menepati janjinya dan kontingen Blambangan tidak akan pulang sebelum mendapatkannya.

Kontan saja pasowanan yang belum dimulai itu menjadi geger. Para bupati dan manggala tentara Majapahit emosi mendengar ucapan Menak Jingga yang dianggap kurang ajar. Menak Jingga dan kontingennya lantas digiring ke alun-alun. Menak Jingga dan pasukannya segera dilucuti dan dipecat karena kurang ajar. Tentu saja pasukan Blambangan yang cuma sedikit itu tidak ada apa-apanya melawan pasukan istana Majapahit.

Namun Menak Jingga melawan. Dia seorang diri melawan pasukan pengawal istana Majapahit. Ternyata pasukan istana kalang kabut. Akhirnya semua pasukan pengawal para bupati yang ada disitu diperbantukan untuk mengeroyok Menak Jingga. Rupanya kesaktian Jaka Umbaran yang sudah menjadi Menak Jingga ini berlipatganda jauh di atas Kebo Marcuet. Siapa saja yang mendekat, mati berdiri hanya kena anginnya gada Wesikuning dan pedang Sokayana yang terus diputar-putar di udara oleh Menak Jingga. Menak Koncar, seorang bupati sakti dari Lumajang tewas menjadi korban gada Wesikuning. Menak Jingga pun berhasil membebaskan kembali pasukannya yang sudah diringkus oleh pasukan Majapahit.

Melihat situasi yang kacau ini, Menak Jingga nyadar. Karena semula tidak berencana untuk bikin gara-gara seperti itu. Lantas, pertempuran tidak dilanjutkan. Menak Jingga beserta kontingennya pun lantas pulang ke Blambangan dengan hati yang gundah gulana. Rasa kecewa, malu dan dendam terus membara. Karena dia yakin bahwa penolakan itu bukan karena Majapahit berniat ingkar janji. Melainkan semata karena Menak Jingga orang cacat yang buruk rupa. Itulah yang menyakiti hatinya.

Probolinggo merdeka, Menak Jingga jadi Raja


Rasa sakit hati Menak Jingga tidak berhenti di dada saja. Dia memutuskan untuk “mbalela mbonggan datanpa ratu” (baca: mbalelo mbonggan datanpo ratu), memerdekakan diri menjadi ratu atau raja. Wilayah-wilayah di sekitar Blambangan satu per satu ditaklukkan. Untuk memudahkan mobilisasi, dia pun tidak diam di Blambangan. Dia ikut bergeser wilayah demi wilayah bersama pasukan ke arah barat. Klimaksnya, Jawa Timur bagian timur sudah menjadi wilayah taklukannya dan dia sendiri berkedudukan di Probolinggo. Lantas diproklamasikanlah Blambangan dan seluruh wilayah jajahannya menjadi sebuah negara bernama Probolinggo.

Menak Jingga menjadi ratugung binathara Probolinggo dengan julukan Prabu Wuru Bhisma (baca: Wuru Bhismo). Kalau nggak salah wuru artinya mabok dan bhisma artinya sumpah besar atau sumpah suci. Jadi Wuru Bhismo diartikan orang yang sedang mabok untuk menagih janji sucinya raja Majapahit. Dirinya juga bersumpah akan terus menggerogoti wilayah Majapahit dan pada klimaksnya akan mencaplok Majapahit.

Tidak seperti menghadapi siluman Kebo Marcuet yang ganas tapi tidak ngerti strategi militer. Kali ini Majapahit benar-benar serius menghadapi Probolinggo. Memang separoh Jawa Timur belum apa-apa dibanding wilayah Majapahit yang seluas Nusantara. Namun, ini terjadi sangat dekat dengan pusat kerajaan dan makin hari makin luas. Sehingga tidak bisa dianggap enteng.

Ranggalawe muncul, istana Probolinggo dikepung


Untuk mengimbangi invasi Probolinggo, maka Majapahit pun terus menerus menginvasi Probolinggo, merebut kembali wilayah yang telah diduduki pasukan Probolinggo. Namun rupanya tentara Majapahit lebih sering terdesak. Mungkin kalah semangat dengan pasukan metal Probolinggo yang pernah menyaksikan kesaktian rajanya yang luar biasa. Klimaksnya, dikirimlah pasukan khusus Majapahit dipimpin langsung oleh Ranggalawe (baca: Ronggolawe), mantan panglima militer yang sebenarnya sudah dipurnawirakan menjadi bupati Tuban.

Kenapa purnawirawan diaktifkan kembali? Konon Ranggalawe dulunya manggala (komandan) pasukan sandiyuda (baca: sandiyudo) Majapahit yang paling hebat. Kesaktiannya dianggap dan diharapkan mampu menandingi Menak Jingga. Senjatanya yang sangat terkenal adalah Songsong Tunggulnaga (baca: Tunggulnogo). Songsong atau payung ini mampu menangkis dan memantulkan serangan senjata lawan (terutama panah) menjadi senjata makan tuan.

Dan ternyata benar. Pasukan sandiyuda Majapahit berhasil memukul mundur pasukan Probolinggo hingga berakhir dengan terkepungnya istana Probolinggo. Hari itu sepertinya akan menjadi hari terakhir bagi Probolinggo. Ranggalawe pun dengan lantang teriak sekeras-kerasnya memanggil Menak Jingga untuk segera keluar angkat tangan karena istana sudah dikepung. Menak Jingga pun keluar dengan santai.

Menak Jingga angkat tangan, namun di tangannya nampak gada dan pedang saktinya, seraya mengingatkan Ranggalawe untuk mundur jangan mati sia-sia. Ucapan ini memompa adrenalin Ranggalawe. Maka segeralah melompat dari kuda untuk memenggal kepala Menak Jingga. Naas sang manggala sandiyuda. Pas loncat justru dengan mudah disamber ayunan gada sakti Menak Jingga dan gugur sebelum mencapai tanah. Seketika situasi menjadi berbalik. Pasukan sandiyuda yang sudah mengepung istana kehilangan komandan dan keluar satu-per-satu sambil angkat tangan.

Majapahit makin lemah, Damar Wulan hadir


Gugurnya Ranggalawe merupakan pukulan paling hebat bagi Majapahit. Kini sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Yang ada hanya menghitung hari, kapan Menak Jingga sampai di depan istana. Prabu Kencana Wungu pun hanya bisa berdoa memohon kepada dewata untuk menyelamatkan dirinya dan Majapahit dari horor Probolimggo. Setiap mau tidur dan bangun tidur, Kencana Wungu tiada henti-hentinya memohon pertolongan dewata. Bahkan biasanya tidurnya pun bukan di kamar tidur, melainkan ketiduran di Sanggar Palanggatan (tempat berdoa).

Di suatu malam, ketika ketiduran di sanggar palanggatan, Kencana Wungu mimpi bertemu dengan dewata. Diisyaratkan dalam mimpi, bahwa yang mampu mengalahkan Menak Jingga dan pasukan Probolinggo hanyalah seorang pemuda dari gunung bernama Damar Sasangka (baca: Damar Sasongko). Begitu bangun tidur, dia bergegas memanggil patih dan menceritakan mimpinya. Karena dianggap penting, maka cara menceritakan mimpi itu dilantunkan dalam 3 pupuh kidung dhandhanggula (baca: dandhanggulo) di bawah ini. Yang biru ucapan Kencana Wungu dan yang merah ucapat Patih Logender.

Siwa Patih marma sun timbali,
ingsun paring weruh marang sira,
yen ingsung antuk wangsite,
saka dewa kang linuhung,
saranane paprangan iki,
kang bisa mbengkas karya,
bocah saka gunung,
kekasih Damarsasangka,
siwa patih lah ikupayanen nuli,
ywa kangsi tan kapanggya.

Lamun sira tan bisa ngulari,
siwa patih aja takon dosa,
mesthi gedhe pidanane,
Dhuh gusti jwita prabu,
bathara gung sak tanah Jawi,
dhawuh paduka nata,
sendika pukulun,
karsendra kapasang yogya,
atur pirsa ingkang kacetheng wangsit,
nama pun Damarwulan.

Sutanipun Kakang Hudara patih,
mangka sampun wonten kepatihan,
jer lare saking pareden,
kawula pundhut mantu,
kapan sampun sawatawis lami,
dhaup lan Anjasmara,
kapanggih nak dulur,
iya patih sun tarima,
mara gage iriden ing ngarsa mami, 
nuwun inggih sendika.

Inti dari kidung di atas, Kencana Wungu menceritakan bahwa dia mimpi mendapat wangsit bahwa yang bisa menyelesaikan masalah Menak Jingga hanyalah Damar Sasangka dari gunung. Patih diperintahkan segera mencarinya. Patih menjawab bahwa orang yang dimaksudkan sudah berada di kepatihan, menjadi menantu patih, menikahi anaknya yang bernama Anjasmara (baca: Anjasmoro) dan namanya Damar Wulan. Memang sasangka artinya bulan atau wulan dalam bahasa Jawa.

Diceritakan juga oleh patih bahwa Damar Wulan sebenarnya anak kakaknya sendiri, patih Hudara (baca: Hudoro), yang ia gantikan kedudukannya karena pergi menghilang entah kemana. Kencana Wungu makin semangat dan minta agar Damar Wulan segera dihadapkan kepadanya. Patih pun siap melaksanakan, dan segera memanggil Damar Wulan menghadap sang raja cantik.

Melihat ujud Damar Wulan, sang raja cantik bukan saja berharap mampu menaklukkan Menak Jingga, juga berselera untuk dipersunting, tanpa peduli Damar Wulan sudah menjadi suami Anjasmara. Di jaman itu memang poligami bukan hal yang aneh, terlebih di kalangan bangsawan. Oleh karena itu dibisikkanlah kepada Damar Wulan, yang intinya pulanglah segera dengan membawa kepala Menak Jingga dan kawinilah aku. Mendengar bisikan seperti itu dari wanita secantik Kencana Wungu, tentu dada Damar Wulan mendidih seperti magma dan napasnya juga panas bak wedus gembelnya Merapi, meskipun lahirnya hanya bolak-balik menelan ludah.

Menak Jingga memergoki Damar Wulan memacari isterinya



Damar Wulan adalah juga murid Ki Ajar Pamengger, yang berarti adik seperguruan Menak Jingga. Sebenarnya tidak melebihi Jaka Umbaran. Namun, Damar Wulan juga mendapat warisan ilmu beladiri dari ayahnya, patih Hudara, yang sebenarnya kakak seperguruannya Ki Ajar Pamengger. Patih Hudara lebih hebat dari Ki Ajar Pamengger.

Meski demikian, Damar Wulan tidak boleh terlalu optimis. Karena Menak Jingga, selain memiliki kekuatan Jaka Umbaran, dia juga mendapat tambahan gada dan pedang sakti dari tanduk siluman Kebo Marcuet yang terbukti mampu mengalahkan Ranggalawe. Disinilah peran 2 panakawan setia Damar Wulan yang bernama Nayagenggong (baca: Noyogenggong) dan Sabdapalon (baca: Sabdopalon) menyusunkan strateginya. Latarbelakang ilmunya sama. Menak Jingga punya kelebihan kesaktian dari 2 senjata sakti yang tak tertandingi. Damar Wulan juga punya kelebihan yang tak tertandingi, yaitu kegantengannya. Maka kelebihan itu harus digunakan sebaik-baiknya. Demikianlah pemikiran strategis para panakawan yang cerdas itu.

Dinasehatinya Damar Wulan untuk menyusup ke Taman Kaputren Probolinggo agar bertemu istri Menak Jingga. Bisa dipastikan 2 wanita cantik itu akan jatuh hati kepada Damar Wulan mengingat sudah belasan tahun hanya melayani orang cacat dan buruk rupa. Dengan jatuhnya para isteri Menak Jingga ke pangkuan Damar Wulan, tentu semua rahasia kelemahan Menak Jingga mudah diinventarisir dan bila perlu senjata rahasianya dicopet.

Ternyata strategi Nayagenggong dan Sabdapalon jitu. Dengan laku dhedhemitan, Damar Wulan berhasil masuk Taman Putri Probolinggo dan disambut hangat oleh Wahita dan Puyengan. Gelora cinta kedua isteri Menak Jingga itu tak terbendung bak amukan tzunami. Bagaimana tidak? Si suami buruk rupa itu ternyata jarang menyentuhnya. Menak Jingga sehari-hari gayeng dengan pasukan, membahas pertempuran. Hadirnya Damar Wulan di Taman Putri itu benar-benar seperti makanan lezat di tengah orang kelaparan. Para pengawal Taman Putri sudah di”tangani” secara khusus oleh Wahita dan Puyengan, sehingga Damar Wulan bebas berhari-hari disitu seperti di rumah sendiri… sampai akhirnya kepergok langsung oleh Menak Jingga.

Bagaimana pun, Menak Jingga adalah Jaka Umbaran, lulusan Gambir Sakethi yang telah mumpuni kekuatan lahir dan bhatinnya. Meskipun sedang sibuk dengan rencana expansi, bisikan bhatinnya mengingatkan dia untuk menjenguk Taman Putri yang telah ditinggalkannya berhari-hari. Dari luar dinding pagedhongan taman (bangunan yang berada di taman), dia bisa mendengarkan desah napas dan percakapan yang ada di dalamnya. Lantas dia berkata kepada Lurah Dayun, yang selalu ada di sampingnya dengan kidung Sinom sebagai berikut:

Heh lurah Dayun tilinga,
swarane wong ndongeng iki,
wijang wijiling wicara,
moncer careme lelungit,
lamun ngucapken pawestri,
ya kaya putri satuhu,
lamun ngucap cara priya,
ya kaya priya sayekti,
wegig timen agawe gawok ing driya.

Maksud dari kidung itu, Menak Jingga penasaran meminta Dayun untuk sama-sama mendengarkan suara kasak-kusuk di balik dinding. Suara itu seperti suara wanita dan priya beneran. Para pengawal tentu ketakutan dan merasa hari itu hari matinya, karena telah membiarkan orang luar bersama isteri raja di dalam kamar. Lantas diketuklah pintu oleh para pengawal dan begitu dibuka, Damar Wulan, langsung disergap dan dihadapkan kepada Menak Jingga.

Tentu saja Menak Jingga kaget ada makluk kelewat jantan berani menselingkuhi isterinya. Namun, ternyata tidak langsung bret. Kebijakan Jaka Umbaran masih tercermin dalam diri Prabu Wuru Bhisma itu. Mengingat keadaan yang sebenarnya, dia sangat memaklumi isteri-isterinya tertarik Damar Wulan. Maka dia isyaratkan kepada para pengawal untuk melepaskan Damar Wulan. Lantas terjadilah tanya jawab dengan 4 pupuh sinom berikut ini. Yang merah ucapan Menak Jingga dan yang hijau Damar Wulan.

Lah sira iku wong apa,
wani malbeng taman sari,
rupamu bagus taruna,
pinangkanira ing endi,
lan sapa kang wewangi,
lah ngakua mumpung durung,
palastra sia-sia,
boyo tan kulak pawarti,
lamun Bhisma lagya winongwong jawata.

Sun iki dhutaning nata,
prabu kenya Majapahit,
kekasih Damar Sasangka,
atmaja mantune patih,
magang anyar awak mami,
lah ta Bhisma praptaningsun,
ingutus sang narpendyah,
kinon mocok murdantaji,
marmaningsun ingutus ywa mindha karya,

Kumenthus si Damar Wulan,
lancang pangucapmu nyengit,
digsura tindak dursila,
adol kawanen mring mami,
ingsun tan kurang wani,
tau tate tandhing jitus,
luhung sira nungkula,
sun dadekaken priyayi,
eman-eman wong bagus tumekeng sirna.

Tan sudi suwiteng sira,
malah sira Bhisma nuli,
nungkula ngucupken asta,
nuruta ingsun taleni,
ih babo manas ati,
wuwusmu saya tan urus,
si anjing duratmaka,
tan kena ginawe becik,
lah ta mara katogena kridanira.

Intinya, di pupuh 1 Menak Jingga menanyakan kamu itu siapa dari mana dan mau apa. Kok gegabah benar kamu masuk kesini, apa tidak pernah mendengar kabar bahwa Wuru Bhisma itu makluk yang sedang keberuntungan (tak terkalahkan). Maksudnya untuk menakut-nakuti Damar Wulan. Hal ini dilakukan karena Menak Jingga tahu, sudah kepergok begini tak urung akan berlanjut ke perang tandhing.

Di jaman dulu, seseorang yang berkasta ksatria, apapun kedudukannya, tidak bisa menghindari tantangan perang tandhing satu lawan satu. Karena dalam budaya (dan agama) saat itu, menolak perang tandhing berarti langsung keluar dari kasta ksatria dan masuk golongan paria (tak berkasta) yang dianggap sebagai manusia haram yang nista. Maka dari itu, pengawal sudah tidak ada artinya jika sudah kepergok bertemu muka.

Di pupuh 2 Damar Wulan menjawab bahwa dia Damar Sasangka, menantunya patih. Kehadirannya adalah sebagai duta dari Majapahit. Dialah yang menawarkan diri untuk memenggal kepala Menak Jingga. Dan akhir dialah yang dipercaya dan diutus supaya tidak gagal.

Di pupuh 3 Menak Jingga marah mengatakan Damar Wulan sombong, lancang dan jahat. Menak Jingga masih berusaha menakut-nakuti dengan istilah “tau tate tandhing jitus” yang artinya pernah memenangkan pertempuran satu lawan seratus. Mungkin yang dimaksudkan ketika dikeroyok siluman di Grati dulu. Disini Menak Jingga masih kelihatan kebijaksanaannya. Dia menawarkan jika Damar Wulan mengalah, akan dia nobatkan menjadi ksatria Probolinggo. Tidak nista jadi paria. Karena seorang raja memang memiliki kekuasaan mengembalikan kasta seseorang selain dirinya.

Namun, di pupuh 4, Damar Wulan menolak tawaran Menak Jingga. Dia memang sudah bertekad bulat dan optimis bakalan mampu mengalahkan Menak Jingga. Pasalnya, segala strategi sudah diatur bersama dengan Wahita dan Puyengan selama beberapa hari menginap di kamar isteri raja itu. Dalam skenarionya, kedua isterinya sangat yakin Menak Jingga akan selalu menjunjung tinggi derajat ksatrianya, seperti dalam berbagai peperangan selama ini. Sehingga tidak mungkin langsung menggunakan senjata saktinya. Sementara Damar Wulan begitu kena pukulan akan langsung jatuh pura-pura mati. Malamnya, Wahita dan Puyengan akan menemani Menak Jingga tidur supaya nyenyak. Begitu sudah benar-benar lelap, lantas senjata sakti akan dicuri dan diberikan Damar Wulan. Dan malam itu juga Menak Jingga akan dibangunkan untuk diajak perang tanding lagi.

Perang tanding sesuai rencana


Ternyata skenario itu jitu beneran, berjalan benar-benar sesuai rencana. Perang tanding tak terelakkan dan Menak Jingga hanya main tangan kosong. Damar Wulan menggunakan keris. Menak Jingga disabet dan ditusuk bertubi-tubi dengan keris andalan Damar Wulan tidak luka sedikit pun. Si The Beast itu tidak membalas, hanya pringas-pringis mentertawakan serangan Damar Wulan. Damar Wulan pun makin gencar menyerang membabi-buta.

Setelah hampir setengah hari serangannya tidak digubris, Damar Wulan pun akhirnya frustasi. Sambil terus-menerus menghujamkan keris ke perut, dada, leher dan punggung Menak Jingga, mulutnya komat-komit menyebut-nyebut nama isterinya, Anjasmara dalam tembang Asmarandhana di bawah ini. Yang hijau ucapan Damar Wulan dan yang merah Menak Jingga.

Anjasmara ari mami,
mas mirah kulaka warta,
dasihmu tan wurung layon,
aneng kutha Prabalingga,
prang tandhing Wuru Bhisma,
kariya mukti wong ayu,
pun kakang pamit palastra.

Wus begjane awak mami,
tan tulus mangestu ring dyah,
dhasar gembeng tur acingeng,
aja gawe wirang Bhisma,
Mara ge patenana,
Eman-eman wong abagus,
Yen kongsi tumeking lena.

Iba dukaning narpati,
Ratu Ayu Majalengka,
yen sira nemahi layon,
benjang yen ingsun kapanggya,
paran atur manira
mestine ingsun katempuh,
apa pepulihing duka.

Sira dadya pangarih,
karya careming asmara,
mrih mari wiraganingong,
Prabu Kenya nuli prapta,
nusul nggoningsun nendra,
sun kudang aneng jinemrum,
sun rungrum amanuhara.

Aja sira andaleming,
lah age sira malesa,
ywa katon lanang dhewe,
ya le ya nang wong jentara,
prang iki tan sun sedya,
sakarsane mung lumuh,
ywa kongsi sira palastra.

Dalam asmarandana di atas, intinya Damar Wulan pamit mati kepada isterinya, Anjasmara, karena memalukan, tidak mampu menaklukkan Menak Jingga. Dia juga minta kepada Menak Jingga untuk secepatnya menyelesaikan. Namun Menak Jingga malah merayunya untuk tidak melanjutkan niatnya. Lebih baik mengalah dan nanti dia sanggup mempertanggungjawabkan kepada Kencana Wungu. Sekaligus Damar Wulan akan dijadikan comblang.

Tentu saja Damar Wulan makin sewot dan makin frustasi mendengar ucapan Menak Jingga. Dia kira skenario yang sudah disusun Nayagenggong dan Sabdapalon bakalan gagal total. Hujaman keris semakin membabi-buta menusuk apasaja layaknya anak kecil ngamuk. Tanpa disengaja, tertusuklah mata Menak Jingga dengan ujung keris yang sangat tajam dan beracun itu. Menak Jingga pun kaget nyaris kejengkang. Sambil meringis mengusap matanya, Menak Jingga lantas memperingatkan lawannya agar tidak mengulangi menusuk mata, karena pedih di pagi harinya. Peringatan itu masih diakhiri dengan rayuan supaya Damar Wulan mau menyadari kekalahannya, seperti tercermin dalam pupuh terakhir tembang Asmarandana berikut ini.

Tutugna nggone nyuduki,
nanging aja nyuduk mata,
sepet esuk-esukane,
heh cah bagus Damar Wulan,
becik sira nungkula,
sun dadekake priyagung,
sun ugung sak karsanira.

Naaah… pucuk dicinta ulam tiba. Akhirnya ini menjadi gagasan cemerlang supaya skenarionya tidak gagal. Ditusuklah sekali lagi mata sang Menak Jingga … dan buuukkk … secepat kilat Menak Jingga melayangkan tinjunya ke rahang Damar Wulan. Meskipun tanpa senjata, pukulan itu milik Jaka Umbaran, sang pendekar ulung. Tentu kualitasnya jauh di atas preman pasar.

Begitu kena pukulan, Damar Wulan langsung jatuh tersungkur. Memang KO beneran. Namun sekaligus dimanfaatkan untuk pura-pura mati. Menak Jingga yang sebenarnya juga kelelahan karena beberapa hari belum tidur, menjadi kurang cermat. Tanpa meneliti detak jantung lawannya, Menak Jingga langsung meninggalkannya dan masuk ke kamar tidur. Wahita dan Puyengan pun pura-pura tidak peduli Damar Wulan, dan langsung mengikuti Menak Jingga ke tempat tidur. Entah apa yang dilakukan mereka bertiga, yang jelas tidak lama kemudian kedua isteri Wuru Bhisma itu keluar kamar karena sang suami sudah tidur lelap.

Rupanya mayat Damar Wulan masih keler-keler dan hanya Dayun yang nungguin sambil kebingungan karena tidak mendapat pesan apapun dari sang majikan. Wahita dan Puyengan lantas menciptakan suasana mencekam dengan melantunkan suara-suara mistis dan bau-bauan yang membikin orang bodoh merinding. Taktik ini ternyata jitu juga. Dayun ketakutan dan lari tunggang-langgang, dan Damar Wulan pun bangkit lagi bak zombie. Lantas Wahita dan Puyengan menyerahkan senjata sakti Gada Wesikuning dan pedang Kunta Sokayana yang barusan dicurinya.

Akhir tragis Prabu Wuru Bhisma


Dengan penuh rasa percaya diri, Damar Wulan yang sudah membawa senjata sakti curian, bergegas menuju kamar sang Raja Probolinggo. Menak Jingga yang sedang ngorok kelelahan, tiba-tiba dibangunkan dan ditantang oleh Damar Wulan yang hidup lagi. Karena kaget dan nyadar bahwa dia sedang dijebak oleh persekongkolan Damar Wulan dan para isterinya sendiri, maka kali ini, tidak lagi mengumbar kebijaksanaan. Langsung saja dia ambil senjata sakti.

Alangkah kagetnya ternyata gada dan pedang saktinya sudah tidak ada. Langsung dia nyadar, inilah hari kematiannya. Karena gada dan pedang sakti itu tidak akan beralih tangan kecuali sudah saatnya. Lantas dia ladeni perang tanding dengan penuh kepasrahan. Dan benar, kesaktian yang dimilikinya tidak mampu melindungi dirinya, mirip dengan ketika dia terkoyak tanduk Kebo Marcuet 20 tahun lalu. Bedanya, tanduk itu kini berupa pedang. Sehingga sekali tebas ke leher, lepaslah kepala Menak Jingga, jatuh menggelinding ke hadapan Damar Wulan. Berakhirlah sudah hikayat sang pendekar sakti Jaka Umbaran.

Kepala Menak Jingga lantas dibungkus oleh Nayagenggong dan Sabdapalon untuk diserahkan kepada Kencana Wungu sebagai bukti. Damar Wulan lantas menghabiskan malamnya dengan merayakan kemenangan itu bersama Wahita dan Puyengan. Keesokan harinya, setelah menurunkan bendera Probolinggo dan mengibarkan bendera Majapahit di depan istana Probolinggo, Damar Wulan diiringi Nayagenggong dan Sabdapalon kembali ke istana Majapahit. Wahita dan Puyengan dibawa sebagai putri boyongan. Paket bungkusan berisi kepala Menak Jingga pun tidak ketinggalan, digendong bergantian oleh Nayagenggong dan Sabdapalon.

Sesampainya di istana Majapahit, semua bukti, kepala Menak Jingga, 2 senjata sakti dan 2 putri boyongan, Wahita dan Puyengan diserahkan bhayangkara (baca: bhayangkoro) ratu untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan dinyatakan otentik dan tepuk tangan kemeriahanpun segera riuh redam “hambata rubuh”. Sang Narpendyah Sri Subasiti Kencana Wungu pun tersenyum maniiiiiis sekaleee sambil mengerlingkan sebelah matanya ke arah Damar Wulan. Si Ganteng yang sedang dalam posisi duduk bersimpuh di lantai sambil menyembah, tak kuasa menahan aura senyuman termahal di dunia itu, kontan saja kejungkel ke depan sampai keningnya memar kejedot lantai.

Keesokan harinya, istana Majapahit menyelenggarakan pesta besar-besaran. Tiga upacara penting digelar dalam sehari, yaitu pembakaran kepala Menak Jingga, pernikahan Kencana Wungu dengan Damar, dan penobatan Damar Wulan menjadi raja dengan julukan Prabu Brawijaya. Diumumkan juga bahwa Anjasmara, Wahito dan Puyengan resmi menjadi isteri selir. Kasihan Anjasmara yaa… isteri pertama malah jadi selir.

Menak Jingga dan Dronacharya


Menak Jingga dari cerita rakyat Jawa dan Dronacharya (द्रोणाचार्य) dari epik Mahabharata memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama tokoh baik, memiliki keteladanan dalam kepahlawanan dan keduanya sama-sama bernasib buruk hingga menciptakan opini negatif bagi penonton ataupun pembaca yang kurang teliti. Tragisnya lagi, keduanya berakhir dengan dipenggal kepalanya dalam pertempuran oleh kelicikan lawan.

Menak Jingga dipenggal dengan senjatanya sendiri oleh Damar Wulan. Kesalahannya tidak ada. Dia hanya meminta haknya yang telah dijanjikan setelah berhasil membayar kewajibannya. Namun entah apa maksud terselubung di balik dongeng ini, Menak Jingga yang buruk rupa itu akhirnya tampil seperti tokoh antagonis, terutama setelah dihadirkannya tokoh Damar Wulan yang ganteng dan bernasib memelas di awal perjalanannya.

Demikian pula Drona (द्रोण). Dia adalah gurunya Pandawa dan Kaurawa. Tidak hanya ahli dalam soal kesaktian, Drona juga guru besar ilmu kemiliteran. Sehingga sulit mencari lawan yang mampu mengimbangi Drona dalam perang tandhing maupun pertempuran. Namun dia tewas dipenggal kepalanya oleh Tresthajumna adik Draupadi ketika sedang loyo karena mendengar kabar bahwa Aswatama, anaknya, tewas oleh Bima. Kabar itu bohong. Sengaja disebarluaskan oleh pihak Pandawa agar Drona frustrasi, karena semua orang tahu Drona sangat menyayangi anaknya yang semata wayang itu.

Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.
Dalam perang Bharatayuddha, Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan formasi perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putera Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi.
Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bagaimanapun saktinya sang resi, dia sangat sayang terhadap keluarganya sehingga termakan tipuan dalam peperangan yang mengakibatkan kematiannya.

Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putera Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Ia adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.
Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.
Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah Patih di Hastinapura, saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki(ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah.
Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak keturunan Bharata (Pandawa dan Korawa).

Sedikit soal istilah Bahasa Jawa


Berhubung asal dongeng ini dari Jawa, sangat mungkin ada kerancuan istilah yang membingungkan. Maka perlu dijelas beberapa istilah bahasa Jawa yang sering muncul dalam tulisan ini, antara lain:

RATU adalah pimpinan negara, bukan isteri raja seperti dalam bahasa Indonesia. Ratu adalah nama jabatan, bukan gelar atau predikat. Predikatnya PRABU atau GUSTI. Setelah masuknya Islam, gelar SUNAN atau SULTAN juga dipakai untuk ratu. Ratu bisa perempuan bisa lelaki. Prabu Kencana Wungu perempuan, sedangkan Prabu Wuru Bhisma lelaki. Dalam sejarah, ada ratu perempuan yang kekuasaannya dilimpahkan kepada suaminya, misalnya anak sulung Sultan Trenggana (baca: Trenggono) dari Demak Bintara (baca: Bintoro) dilimpahkan kepada suaminya, Mas Karebet, yang akhirnya menjadi Sultan Hadiwijaya (baca: Hadiwijoyo). Tetapi ada pula yang tidak, seperti Tribuwana Tunggadewi dari Majapahit, lengsernya ke Hayam Wuruk, anaknya.
Entah dari mana sumbernya, ratu dalam bahasa Indonesia diartikan isteri raja??? Mungkin awalnya pas nonton kethoprak, umumnya ratu memanggil permaisurinya dengan predikat KANJENG RATU. Padahal yang dimaksudkan adalah isteri ratu. Kanjeng ratu yang ratu beneran mitos Kanjeng Ratu Kidul. Namun bisa jadi hanyalah ucapan orang yang tidak tahu. Atau mungkin juga dari media masa berbasis perkiraan atau selera seseorang berucap. Yang jelas RATU = KING, bukan queen.

Dan yang paling penting untuk dimaklumkan, bahasa Indonesia dan akar-akarnya belum pernah digunakan menjadi bahasa resmi pemerintahan negara manapun sebelum Indonesia dan Malaysia merdeka. Sehingga istilah-istilah yang terkait dengan birokrasi pemerintahan jelas tidak dimilikinya. Istilah-istilah yang ada sekarang disusun menyusul manakala sudah diperlukan, yang terkadang asal comot dari bahasa Jawa atau daerah lain, bahkan dari bahasa asing.


RAJA (baca: rojo) adalah sesuatu yang dianggap menjadi perhatian khusus. Misalnya, rajaputri (baca: rojoputri), artinya perempuan yang paling cantik. Rajapati (baca: rojopati), artinya musibah yang memakan korban nyawa. Raja juga dipredikatkan untuk pimpinan semacam suku, adat atau kawasan tertentu, bukan pimpinan negara. Wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan oleh negara tertentu (misal Majapahit), pentolannya disebut raja.
Namun dalam bahasa Indonesia, raja diartikan pimpinan negara, entah dari mana sumbernya. Makin hari sepertinya makin lazim. Oleh karena itu dalam tulisan ini maupun tulisan lain dalam blog ini, penulis mencoba menyesuaikan pengertian publik saat ini dimana raja diartikan pimpinan negara, meskipun belum ada rujukan yang jelas. Barangkali mesih bisa ditolerir asal jangan lantas ngawur, ratu dijadikan isteri raja.

Berakar dari istilah raja yang diartikan kepala negara, lantas muncul istilah KERAJAAN yang diartikan NEGARA. Mungkin awalnya dipadankan KERATON untuk RATU. Namun sebenarnya keraton bukan negara, melainkan istana ratu, atau istana kepala negara.

Sedangkan negara dalam bahasa Jawa adalah NEGARA (baca: negoro) dan pemerintahan adalah PRAJA (baca: projo). Aparatuur pemerintah adalah NAYAKA PRAJA (baca: nayoko projo). Mungkin kali ini perbedaan antara raja dan ratu menjadi lebih jelas. Praja dari akar kata PARA RAJA (baca: poro rojo), yang artinya himpunan sejumlah pimpinan kesukuan, adat atau kawasan yang menjadi satu tunduk dalam kekuasaan sebuah negara yang dipimpin oleh ratu.

PATIH adalah pejabat negara yang tugasnya mirip perdana menteri yang kita kenal saat ini, menjalankan roda pemerintahan. Bedanya, patih setiap saat dikontrol oleh ratu dan meski boleh bikin rencana, namun tidak boleh menjalankan rencananya sendiri sebelum mendapat persetujuan ratu.

MANGGALA (baca: manggolo) adalah komandan (commander, commandant), yaitu pimpinan organisasi yang berbasis garis komando. Sehingga umumnya digunakan untuk organisasi ketentaraan atau militer. Manggalayuda (baca: manggoloyudo) artinya panglima perang.

WEDANA (baca: wedono) adalah manajer (manager, supervisor), yaitu pimpinan organisasi yang tidak berbasis garis komando. Sehingga umumnya digunakan untuk organisasi sipil. Kadang juga untuk hal-hal yang tidak bersifat resmi. Misalnya wedananing laku artinya pemimpin perjalanan atau penunjuk jalan.

TENTARA (baca: tentoro) adalah laskar bersenjata yang tugasnya berperang atas perintah manggala. Istilah lain yang populer dalam bahasa Jawa adalah prajurit atau tamtama (baca: tamtomo). Meskipun di jaman Majapahit, agama dominan Buddha, namun budaya pemerintahan masih kental berbau Hindu, sehingga kasta masih berlaku. Tentara harus berkasta ksatria, karena hanya ksatrialah yang boleh ikut perang. Perang dalam budaya Hindu aman bagi rakyat, karena hanya ksatria saja yang boleh menyerang maupun diserang.

YUDA (baca: yudo) adalah perang atau tempur. Peperangan dalam bahasa Jawa disebut payudan dari kata dasar yuda, atau palagan dari kata dasar laga (baca: logo). Tetapi karena bahasa Jawa adalah bahasa alam, maka kata dasar yang sudah berarti peperangan juga ada, misalnya rananggana (baca: rananggono), pancabakah (baca: poncobakah) dan mungkin masih ada lagi yang saya tidak tahu.

SANDIYUDA (baca: sandiyudo) adalah kunci atau taktik jitu pertempuran. Istilah ini digunakan untuk menamai pasukan tentara yang tugasnya memicu atau mengawali peperangan, yaitu memasuki wilayah lawan, menyergap dan mengobrak-abrik titik-titik kekuatan lawan secepat mungkin supaya lawan tidak memiliki kesempatan melawan. Intinya untuk membekuk lawan di kandangnya sendiri untuk menghindari perang terbuka.
Taktik sandiyuda digelar pertama kali di republik ini oleh Jenderal Ahmad Yani (ketika itu masih letkol) di jaman rezim Soekarno dengan nama green beret Banteng Raiders (BR) dari Kodam Diponegoro. Semboyannya sederhana dan dalam bahasa lokal, “Pantang Mundur”. Namun cukup bikin bulu kuduk lawan merinding. Dalam berbagai pertempuran melawan pemberontak, BR sangat ditakuti bagaikan ninja. Mereka memasuki sarang lawan dan membantainya tanpa suara. Demikian kata paman saya dan diiyakan oleh paman satunya lagi yang mantan anggota Pasukan Katak KKO (sekarang Marinir). Memang dulu KKO konon partner terbaik BR.

BHAYANGKARA (baca: bhayangkoro) adalah pasukan tentara yang tugasnya khusus untuk menangani keamanan internal. Istilah bhayangkara, tentara maupun prajurit sudah ada jauh sebelum Majapahit. Tetapi penggelaran pasukan bhayangkara dalam sejarah baru ada di jaman Majapahit, yang diprakarsai oleh Shri Mahapatih Gajah Mada. Tugasnya mirip polisi jaman sekarang. Bedanya, polisi tidak memiliki latarbelakang kemiliteran. Sedangkan bhayangara, personilnya justru dipilih dari orang-orang terbaik di pasukan sandiyuda. Pengawal istana adalah pasukan bhayangkara terbaik.

http://www.z-mainframe.com/menak-jingga/

bandingkan dengan
http://asmaralaya.blogspot.co.id/2014/07/kidung-asmaradhana-puisi-cinta.html